Audit
kinerja tidak mengaudit seluruh akun perkiraan atau area atau kegiatan auditee.
Audit kinerja juga tidak harus memeriksa seluruh aspek 3E pada seluruh aspek
kegiatan suatu auditee. Audit kinerja ditujukan pada bidang-bidang tertentu
yang dianggap sangat menentukan keberhasilan/kinerja entitas yang diaudit, yang
disebut sebagai area kunci.
Area
kunci merupakan area yang kegiatannya dilaksanakan oleh auditee, yang sangat
menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan kinerja auditee. Dari sudut
pandang auditor pemilihan area kunci yang terlalu luas akan mengakibatkan hasil
auditor terlalu luas dan tidak bulat sehingga rekomendasi yang diberikan oleh auditor
tidak tajam dan tidak menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh auditee. Sebaliknya
lingkup audit yang terlalu sempit dapat mengakibatkan temuan dan rekomendasi
audit tidak mewakili permasalahan yang ada pada auditee.
Manfaat
Identifikasi Area Kunci
Pemilihan area
kunci yang tepat memungkinkan penggunaan sumber daya audit secara lebih efisien
dan efektif karena dapat memfokuskan sumber daya pada area audit yang memiliki
nilai tambah yang maksimum. Tentu saja hal ini lebih baik dibandingkan dengan
mengalokasikan seluruh sumber daya audit pada seluruh area secara merata.
Identifikasi Area Kunci di Direktorat Jenderal Pajak RI Menurut Saya
1. Resiko
Manajemen
Dalam
audit laporan keuangan kita mengenal adanya pendekatan audit berbasis resiko
yaitu suatu pendekatan dengan menggunakan analisi resiko untuk menentukan area
penting yang seharusnya menjadi fokus audit. Audit laporan keuangan berfokus
pada resiko terjadinya salah saji material dalam penyajian laporan keuangan. Pada
audit kinerja, pendekatan audit berbasis resiko lebih ditekankan pada resiko
yang ditanggung manajemen terkait dengan aspek ekonomi, efisiensi, dan
efektifitas.
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, ada
potensi penerimaan pajak negara yang hilang Rp 8 triliun. Pajak ini akan
dialihkan ke Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai aturan
otonomi daerah.
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian
Direktorat Jenderal Pajak, Hartoyo, menjelaskan, hal ini terjadi karena setoran
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk perkotaan dan pedesaan telah dialihkan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Nantinya, penerimaan PBB tersebut akan
murni milik daerah.
"Jadi, ada potensi penerimaan PBB untuk
perkotaan dan pedesaan sebesar Rp 8 triliun untuk 2012, itu akan dialihkan ke
daerah. Kita akan siap beri asistensi atau pendampingan kepada pemda,"
kata Hartoyo dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2/2013).
Keputusan tersebut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRB) yang
mulai berlaku sejak 1 Januari 2011.
Saat aturan tersebut diterapkan, hanya Kota
Surabaya yang menerapkannya. Pada 2012, aturan tersebut baru bisa dilaksanakan
pada 17 kabupaten atau kota, di antaranya Sukoharjo, Sidoarjo, Gresik,
Yogyakarta, Palu, Gorontalo, Samarinda, dan Pontianak.
"Dari 17 kabupaten atau kota itu, potensi
penerimaan PBB perkotaan dan pedesaannya mencapai Rp 8 triliun, ini yang
dialihkan ke kota masing-masing," tambahnya.
Di 2013 ini, masih ada potensi penerimaan PBB
perkotaan dan pedesaan di 105 kota atau kabupaten di seluruh Indonesia. Potensi
penerimaannya ditaksir Rp 4,5 triliun. Kota-kota ini merupakan kota kedua di
ibu kota provinsi.
Sementara di 2014, ada potensi penerimaan PBB
perkotaan dan pedesaan di 369 kota atau kabupaten dengan potensi penerimaan Rp
1,5 triliun. Diharapkan sampai akhir tahun 2014 ini, seluruh kota atau
kabupaten sudah menerapkan aturan tersebut.
"Perkiraan kami semoga tidak lebih dari 6
kota atau kabupaten yang belum menerapkan aturan ini. Hal ini disebabkan
kemampuan IT mereka berbeda-beda sehingga tidak bisa semua daerah dipatok
sama," tambahnya.
Artikel di atas
merupakan salah satu contoh identifikasi area kunci di mana terdapat penerimaan
yang jauh berada di bawah anggaran, di mana angka yang disebutkan hilang
tersebut diniliai cukup signifikan yaitu Rp 8 Triliun.
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany megemukakan, salah satu
sebab melesetnya penerimaan pajak sepanjang 2012 adalah karena pengaruh krisis
global terhadap perusahaan di dalam negeri. Krisis global menyebabkan turunnya
kinerja penjualan yang berakibat pada anjloknya setoran pajak.
"Pelambatan ekonomi global menyebabkan permintaan komoditas
juga mengalami pelemahan. Apalagi harga komoditas juga anjlok yang menyebabkan
penerimaan perusahaan komoditas juga anjlok, sehingga setoran pajaknya juga
anjlok," kata Fuad saat konferensi pers di kantornya di Jakarta, Senin
(14/1/2013).
Menurut Fuad, empat sektor industri yang dominan berkontribus
dalam penerimaan pajak ke negara adalah industri manufaktur, pertambangan,
keuangan dan perkebunan. Pada industri perkebunan, harga komoditas sektor
perkebunan anjlok. Imbasnya, ekspor turun sehingga penerimaan pajak dari
industri ini juga turun.
Melemahnya harga komoditas perkebunan selanjutnya berimbas pada
sektor keuangan. Menurut Fuad, banyak bank bekerja sama dengan industri
perkebunan. Turunnya harga komoditas perkebunan membuat kinerja keuangan
bank-bank tersebut juga menurun. "Ini bukan bank besar, tapi
bank-bank menengah dan kecil yang berhubungan dengan industri tadi,"
tambahnya.
Sekadar catatan, realisasi penerimaan pajak tahun 2012 meleset
dari target APBN-Perubahan. Sampai akhir Desember 2012, penerimaan pajak
mencapai Rp 980,1 triliun atau 3,6 persen lebih rendah dari target sebesar Rp
1.016,2 triliun.
"Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak tercapainya target
penerimaan PPh nonmigas, pajak lainnya, dan bea keluar," kata Menteri
Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (7/1/2013).
Menkeu memaparkan, realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh)
mencapai Rp 464,7 triliun atau 90,3 persen dari target Rp 513,7 triliun dan bea
keluar mencapai Rp 21,2 triliun atau 91,5 persen dari target Rp 23,2 triliun.
Ia mengatakan, tidak tercapainya realisasi tersebut berkaitan dengan lesunya
sektor pertambangan yang dipicu oleh rendahnya kadar konsentrat mineral di area
pertambangan.
"Selain itu, menurunnya pertumbuhan ekspor berpengaruh pada
melambatnya penerimaan pajak di sektor industri pengolahan," kata Menkeu.
Dari sisi ekonomi makro, lebih rendahnya realisasi penerimaan
perpajakan tersebut terjadi berkaitan dengan menyempitnya basis pajak
sehubungan dengan lebih rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi
pada 2012. Sementara realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM), cukai, dan bea masuk melampaui target
yang telah ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2012.
Menurut Menkeu, realisasi penerimaan PPN mencapai Rp 337,6 triliun
atau 100,5 persen dari target Rp 336,1 triliun, cukai mencapai Rp 95 triliun
atau 114,1 persen dari target Rp 83,3 triliun, dan bea masuk Rp 28,3 triliun
atau 114,3 persen dari target Rp 24,7 triliun. Di sisi lain, realisasi
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 351,6 triliun yang berarti 3,1
persen lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan sebesar Rp 341,1 triliun.
"Pencapaian tersebut bersumber dari penerimaan sumber daya
alam terkait dengan meningkatnya harga gas dan volume penjualan barang tambang
serta bertambahnya jenis mineral yang dikenakan PNBP," ujar Menkeu.
Artike
di atas merupakan salah satu contoh identifikasi area kunci berupa adanya
target atau tujuan yang tidak tercapai yaitu melesetnya penerimaan pajak
sepanjang 2012 karena adanya krisis global terhadap perusahaan di dalam negeri.
Krisis global menyebabkan turunnya kinerja penjualan yang menyebabkan turunnya
penerimaan pajak.
2. Signifikansi
Program Direktorat Jenderal Pajak RI
Konsep
signifikansi dalalm audit kinerja hampir sama dengan konsep materialitas dalam
audit keuangan. Signifikansi suatu area audit berkaitan dengan dampak yang
dihasilkan area tersebut terhadap objek audit secara keseluruhan. Signifikansi bergantung
pada apakah suatu kegiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan
lainnya dalam objek audit secara keseluruhan. Penentuan signifikansi merupakan
penilaian profesional di mana seorang auditor mempertimbangkan faktor-faktor
seperti materialitas keuangan, batas kritis keberhasilan, dan visibilitas.
Ada
kalanya sebuah masalah dianggap tidak material oleh audit keuangan namun
dianggap material oleh audit kinerja.
Dalam
Direktorat Jenderal Pajak, menurut saya, bisa dianggap material pada audit
kinerja apabila terdapat penerimaan pajak yang jauh kurang dari target yang
dianggarkan sebenarnya. Selain itu, apabila terdapat korupsi oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab juga merupakan sebuah permasalahan yang material,
berapapun jumlah uang yang dikorupsi. Walaupun mungkin jumlah uang yang
dikorupsi tersebut misalnya hanya 100 juta yang merupakan sepersekian kecilnya
dari APBN dan dianggap tidak material bagi audit keuangan, namun dari sudut
pandang audit kinerja dapat dianggap material karena hal ini menunjukkan adanya
pegawai yang tidak jujur. Adanya pegawai yang tidak jujur ini apabila
dilanjutkan terus menerus maka akan berdampak signifikan pada budaya kerja di
Departemen secara keseluruhan.
3. Dampak
Audit
Dampak
audit merupakan nilai tambah yang diharapkan oleh audit tersebut, yaitu suatu
perubahan dan perbaikan yang dapat meningkatkn 3E. Nilai tambah yang dihasilkan
dari suatu audit merupakan hal penting dalam menentukan area kunci yang akan
diperiksa secara terinci. Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh auditor
adalah “Apakah audit yang dilaksanakan akan mengakibatkan suatu perubahan?”
Apabila audit nampaknya tidak akan menimbulkan suatu perubahan berarti pada kinerja
manajemen, auditor dapat memberikan bobot yang rendah terhadap dampak audit.
Contoh
identifikasi dampak audit pada Direktorat Jenderal Pajak adalah adanya
pengurangan tingkat korupsi dengan adanya audit korupsi. Kemudian juga adanya
peningkatan penerimaan negara setelah diaudit adanya kekurangan penerimaan
negara akibat krisis global. Adanya peningkatan jumlah Wajib Pajak setelah
dilakukan audit pada kinerja sensus pajak. Dan adanya peningkatan jumlah Wajib
Pajak yang mengisi SPT serta membayar pajak tepat waktu setelah dilakukan audit
atas ketercapaian tujuan dari program baru mengenai pengisian SPT.
4. Auditibilitas
Auditabilitas
berkaitan dengan kemampuan tim audit untuk melaksanakan audit sesuai dengan
standar profesi. Berbagai kaeadaan yang menyebabkan auditor memutuskan untuk
tidak melakukan audit dalam area tertentu walaupun hal itu sangat signifikan
terjadi.
Berbagai
situasi mungkin terjadi sehingga auditor memutskan untuk tidak melaksanakan
audit secara profesional pada beberapa area tertentu atau bahkan pada seluruh
area entitas, baik karena keadaan entitas maupun karena keadaan auditor itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar