Kamis, 14 Maret 2013

Identifikasi Area Kunci Direktorat Jenderal Pajak

Audit kinerja tidak mengaudit seluruh akun perkiraan atau area atau kegiatan auditee. Audit kinerja juga tidak harus memeriksa seluruh aspek 3E pada seluruh aspek kegiatan suatu auditee. Audit kinerja ditujukan pada bidang-bidang tertentu yang dianggap sangat menentukan keberhasilan/kinerja entitas yang diaudit, yang disebut sebagai area kunci.
Area kunci merupakan area yang kegiatannya dilaksanakan oleh auditee, yang sangat menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan kinerja auditee. Dari sudut pandang auditor pemilihan area kunci yang terlalu luas akan mengakibatkan hasil auditor terlalu luas dan tidak bulat sehingga rekomendasi yang diberikan oleh auditor tidak tajam dan tidak menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh auditee. Sebaliknya lingkup audit yang terlalu sempit dapat mengakibatkan temuan dan rekomendasi audit tidak mewakili permasalahan yang ada pada auditee.
Manfaat Identifikasi Area Kunci
Pemilihan area kunci yang tepat memungkinkan penggunaan sumber daya audit secara lebih efisien dan efektif karena dapat memfokuskan sumber daya pada area audit yang memiliki nilai tambah yang maksimum. Tentu saja hal ini lebih baik dibandingkan dengan mengalokasikan seluruh sumber daya audit pada seluruh area secara merata.
Identifikasi Area Kunci di Direktorat Jenderal Pajak RI Menurut Saya
1.       Resiko Manajemen
Dalam audit laporan keuangan kita mengenal adanya pendekatan audit berbasis resiko yaitu suatu pendekatan dengan menggunakan analisi resiko untuk menentukan area penting yang seharusnya menjadi fokus audit. Audit laporan keuangan berfokus pada resiko terjadinya salah saji material dalam penyajian laporan keuangan. Pada audit kinerja, pendekatan audit berbasis resiko lebih ditekankan pada resiko yang ditanggung manajemen terkait dengan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, ada potensi penerimaan pajak negara yang hilang Rp 8 triliun. Pajak ini akan dialihkan ke Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai aturan otonomi daerah.
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak, Hartoyo, menjelaskan, hal ini terjadi karena setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk perkotaan dan pedesaan telah dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Nantinya, penerimaan PBB tersebut akan murni milik daerah.
"Jadi, ada potensi penerimaan PBB untuk perkotaan dan pedesaan sebesar Rp 8 triliun untuk 2012, itu akan dialihkan ke daerah. Kita akan siap beri asistensi atau pendampingan kepada pemda," kata Hartoyo dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2/2013).
Keputusan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRB) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2011.
Saat aturan tersebut diterapkan, hanya Kota Surabaya yang menerapkannya. Pada 2012, aturan tersebut baru bisa dilaksanakan pada 17 kabupaten atau kota, di antaranya Sukoharjo, Sidoarjo, Gresik, Yogyakarta, Palu, Gorontalo, Samarinda, dan Pontianak.
"Dari 17 kabupaten atau kota itu, potensi penerimaan PBB perkotaan dan pedesaannya mencapai Rp 8 triliun, ini yang dialihkan ke kota masing-masing," tambahnya.
Di 2013 ini, masih ada potensi penerimaan PBB perkotaan dan pedesaan di 105 kota atau kabupaten di seluruh Indonesia. Potensi penerimaannya ditaksir Rp 4,5 triliun. Kota-kota ini merupakan kota kedua di ibu kota provinsi.
Sementara di 2014, ada potensi penerimaan PBB perkotaan dan pedesaan di 369 kota atau kabupaten dengan potensi penerimaan Rp 1,5 triliun. Diharapkan sampai akhir tahun 2014 ini, seluruh kota atau kabupaten sudah menerapkan aturan tersebut.
"Perkiraan kami semoga tidak lebih dari 6 kota atau kabupaten yang belum menerapkan aturan ini. Hal ini disebabkan kemampuan IT mereka berbeda-beda sehingga tidak bisa semua daerah dipatok sama," tambahnya.
Artikel di atas merupakan salah satu contoh identifikasi area kunci di mana terdapat penerimaan yang jauh berada di bawah anggaran, di mana angka yang disebutkan hilang tersebut diniliai cukup signifikan yaitu Rp 8 Triliun.

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany megemukakan, salah satu sebab melesetnya penerimaan pajak sepanjang 2012 adalah karena pengaruh krisis global terhadap perusahaan di dalam negeri. Krisis global menyebabkan turunnya kinerja penjualan yang berakibat pada anjloknya setoran pajak.
"Pelambatan ekonomi global menyebabkan permintaan komoditas juga mengalami pelemahan. Apalagi harga komoditas juga anjlok yang menyebabkan penerimaan perusahaan komoditas juga anjlok, sehingga setoran pajaknya juga anjlok," kata Fuad saat konferensi pers di kantornya di Jakarta, Senin (14/1/2013).
Menurut Fuad, empat sektor industri yang dominan berkontribus dalam penerimaan pajak ke negara adalah industri manufaktur, pertambangan, keuangan dan perkebunan. Pada industri perkebunan, harga komoditas sektor perkebunan anjlok. Imbasnya, ekspor turun sehingga penerimaan pajak dari industri ini juga turun.
Melemahnya harga komoditas perkebunan selanjutnya berimbas pada sektor keuangan. Menurut Fuad, banyak bank bekerja sama dengan industri perkebunan. Turunnya harga komoditas perkebunan membuat kinerja keuangan bank-bank tersebut juga menurun.  "Ini bukan bank besar, tapi bank-bank menengah dan kecil yang berhubungan dengan industri tadi," tambahnya.
Sekadar catatan, realisasi penerimaan pajak tahun 2012 meleset dari target  APBN-Perubahan. Sampai akhir Desember 2012, penerimaan pajak mencapai Rp 980,1 triliun atau 3,6 persen lebih rendah dari target sebesar Rp 1.016,2 triliun.
"Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak tercapainya target penerimaan PPh nonmigas, pajak lainnya, dan bea keluar," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (7/1/2013).
Menkeu memaparkan, realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) mencapai Rp 464,7 triliun atau 90,3 persen dari target Rp 513,7 triliun dan bea keluar mencapai Rp 21,2 triliun atau 91,5 persen dari target Rp 23,2 triliun. Ia mengatakan, tidak tercapainya realisasi tersebut berkaitan dengan lesunya sektor pertambangan yang dipicu oleh rendahnya kadar konsentrat mineral di area pertambangan.
"Selain itu, menurunnya pertumbuhan ekspor berpengaruh pada melambatnya penerimaan pajak di sektor industri pengolahan," kata Menkeu.
Dari sisi ekonomi makro, lebih rendahnya realisasi penerimaan perpajakan tersebut terjadi berkaitan dengan menyempitnya basis pajak sehubungan dengan lebih rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada 2012. Sementara realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM), cukai, dan bea masuk melampaui target yang telah ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2012.
Menurut Menkeu, realisasi penerimaan PPN mencapai Rp 337,6 triliun atau 100,5 persen dari target Rp 336,1 triliun, cukai mencapai Rp 95 triliun atau 114,1 persen dari target Rp 83,3 triliun, dan bea masuk Rp 28,3 triliun atau 114,3 persen dari target Rp 24,7 triliun. Di sisi lain, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 351,6 triliun yang berarti 3,1 persen lebih tinggi dari sasaran yang ditetapkan sebesar Rp 341,1 triliun.
"Pencapaian tersebut bersumber dari penerimaan sumber daya alam terkait dengan meningkatnya harga gas dan volume penjualan barang tambang serta bertambahnya jenis mineral yang dikenakan PNBP," ujar Menkeu.  

Artike di atas merupakan salah satu contoh identifikasi area kunci berupa adanya target atau tujuan yang tidak tercapai yaitu melesetnya penerimaan pajak sepanjang 2012 karena adanya krisis global terhadap perusahaan di dalam negeri. Krisis global menyebabkan turunnya kinerja penjualan yang menyebabkan turunnya penerimaan pajak.

2.       Signifikansi Program Direktorat Jenderal Pajak RI
Konsep signifikansi dalalm audit kinerja hampir sama dengan konsep materialitas dalam audit keuangan. Signifikansi suatu area audit berkaitan dengan dampak yang dihasilkan area tersebut terhadap objek audit secara keseluruhan. Signifikansi bergantung pada apakah suatu kegiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan lainnya dalam objek audit secara keseluruhan. Penentuan signifikansi merupakan penilaian profesional di mana seorang auditor mempertimbangkan faktor-faktor seperti materialitas keuangan, batas kritis keberhasilan, dan visibilitas.
Ada kalanya sebuah masalah dianggap tidak material oleh audit keuangan namun dianggap material oleh audit kinerja.
Dalam Direktorat Jenderal Pajak, menurut saya, bisa dianggap material pada audit kinerja apabila terdapat penerimaan pajak yang jauh kurang dari target yang dianggarkan sebenarnya. Selain itu, apabila terdapat korupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab juga merupakan sebuah permasalahan yang material, berapapun jumlah uang yang dikorupsi. Walaupun mungkin jumlah uang yang dikorupsi tersebut misalnya hanya 100 juta yang merupakan sepersekian kecilnya dari APBN dan dianggap tidak material bagi audit keuangan, namun dari sudut pandang audit kinerja dapat dianggap material karena hal ini menunjukkan adanya pegawai yang tidak jujur. Adanya pegawai yang tidak jujur ini apabila dilanjutkan terus menerus maka akan berdampak signifikan pada budaya kerja di Departemen secara keseluruhan.
3.       Dampak Audit
Dampak audit merupakan nilai tambah yang diharapkan oleh audit tersebut, yaitu suatu perubahan dan perbaikan yang dapat meningkatkn 3E. Nilai tambah yang dihasilkan dari suatu audit merupakan hal penting dalam menentukan area kunci yang akan diperiksa secara terinci. Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh auditor adalah “Apakah audit yang dilaksanakan akan mengakibatkan suatu perubahan?” Apabila audit nampaknya tidak akan menimbulkan suatu perubahan berarti pada kinerja manajemen, auditor dapat memberikan bobot yang rendah terhadap dampak audit.
Contoh identifikasi dampak audit pada Direktorat Jenderal Pajak adalah adanya pengurangan tingkat korupsi dengan adanya audit korupsi. Kemudian juga adanya peningkatan penerimaan negara setelah diaudit adanya kekurangan penerimaan negara akibat krisis global. Adanya peningkatan jumlah Wajib Pajak setelah dilakukan audit pada kinerja sensus pajak. Dan adanya peningkatan jumlah Wajib Pajak yang mengisi SPT serta membayar pajak tepat waktu setelah dilakukan audit atas ketercapaian tujuan dari program baru mengenai pengisian SPT.
4.       Auditibilitas
Auditabilitas berkaitan dengan kemampuan tim audit untuk melaksanakan audit sesuai dengan standar profesi. Berbagai kaeadaan yang menyebabkan auditor memutuskan untuk tidak melakukan audit dalam area tertentu walaupun hal itu sangat signifikan terjadi.
Berbagai situasi mungkin terjadi sehingga auditor memutskan untuk tidak melaksanakan audit secara profesional pada beberapa area tertentu atau bahkan pada seluruh area entitas, baik karena keadaan entitas maupun karena keadaan auditor itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar